Jumat, 22 Juni 2012

IMAM ZARATHUSTRA



Di atas mimbar jalanan nan terik, debu-debu aspal menampar wajahnya yang mulai memerah. Terlihat matanya nyalang menembus pagar kawat berduri, nafasnya memburu kecongkakan rezim yang tak tahu diri. Maka jelas seluruh energi itu wujud manifestasi dari ”kepalan tangan kiri” yang diangkatnya tinggi-tinggi.
 ”Inilah jalan perjuangan kita, Kawan!”
 Siang itu, ia memang haus darah. Maka buaslah puluhan Mahasiswa yang berada dalam komandonya. Karena saat itu adalah hari perayaan mereka ketika satu persatu kepala polisi anti huru-hara muncrat. Ketika batang per batang lengan para penghalang patah. Di hadapan pagar betis barisan manusia, di tengah desingan tembakan peringatan dan kepulan gas air mata.
 ”Dan tahukah kalian!”
 Maka tahukah kalian, perjuangan ini untuk sebuah hak yang telah lama ditikam. Untuk sebuah kata suci yang telah dibredel, tercabik-cabik oleh sistem dalam kekuasaan hipokrit yang penuh kepentingan: Keadilan.
 Ia, dengan segenap  keperkasaan intelektualnya, memuji dirinya dengan nama pena, nama kebesarannya: Imam Zarathustra.
***
 ”Bro!”, dari arah belakang ia memukul akrab bahuku dengan buku lusuhnya yang bergambar kepala manusia berkumis setebal serabut kelapa: Nietzsche. ”Ada waktu?”
 ”Untuk apa?”, tanyaku. Ia memang kawan akrabku, kawan sefakultas. Partner diskusi yang jika sudah dimabok intelektual, maka adzan pun dianggapnya semacam auman suara pengganggu.
 ”Begini.” Ia mengambil posisi dan menyandarkan pantatnya di depan meja dosen secara elegan. ”Nggak tahu nih ya, entah sudah gila apa gue,” sambil menjepit lintingan rokok tangannya menggaruk-garuk kepala, jelas bukan karena korengnya gatal, ”terang aja, gue suka sama temenmu.”
 ”Heh??” Aku merapat, meyakinkan kalau kupingku masih berfungsi dengan baik, ”Bentar, bentar. Apa tadi lo bilang? Suka temen gue? Temen yang mana? Hahaha, gila lo ya.”

”Ah, manusiawi lah.. Itu, temenmu, siapa sih namanya, Aura? Itu, ikhwit sebutannya kan? Yang seorganisasi sama kamu itu.”
 Gelagat dan kikuknya membuat tawaku mulai asik. Jarang-jarang ketemu aktivis rasis mengidap virus melankolis. ”Ikhwit? Akhwat kalii.. Ya, namanya Aura. Aura Madina. Yang pake kaca-mata itu, bukan?”
 ”Hmm, ya, ya, Akhwat. Sudah gue duga, tawamu mesti bau karbit,” gerutunya. Sementara tawaku yang sedari tadi tertahan masih menyisakan seberkas senyum dikulum.
 ”Jadi begini.” Ia melompat ringan mengambil duduk di atas bangku, masih di bangku dosen. ”Begini, Bro. Sory aja, biar gue ancur begini, terus terang aja gue eneg lihat sapi-sapi tank top macam sekeliling kita itu, sumpah,” selorohnya sembari tangannya menunjuk mahasiswi berpakaian ketat yang berlalu lalang di luar. ”Gue ngerasa adem aja kalo lihat cewek-cewek berpakaian besar seperti teman-temanmu itu. Kesannya mereka bisa menghargai dirinya, kehormatannya. Jujur aja, kalo punya istri gue inginnya seperti itu. Kan perasaan kita bisa tenang tuh? Nah, kira-kira bisa nggak gue pacaran dulu sama Aura?”
 Jreng! Jreng! Belum habis sisa tawaku kali ini sudah disuguhi dagelan baru. Meledaklah kembali seperti knalpot yang terpingkal-pingkal menertawakan harga BBM. Pikir-pikir, akhwat mana yang mau diajaknya pacaran? Bisa-bisa dilempar panci biar tahu rasa! Hahaha.
 Jadi terlebih dulu kuberi tahu padamu, Kawan. Yang disukai kawanku ini, Aura, adalah seorang Akhwat yang ada di LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di kampus kami. Akhwat berparas putih yang sudah masyhur kecantikannya di kampus kami. Kini ia Mahasiswi tingkat tiga akhir, semester 5. Dan boleh jadi demi menjaga kecantikannya, maka sekitar sebulan yang lalu ia mulai memakai cadar.
 Di kalangan Asrama Ikhwan, nama Aura seringkali kudengar menjadi bahan pembicaraan. Biasanya saat-saat kumpul santai atau menjelang tidur malam. Termasuk aku? Bwahaha, tidak mungkin, tidak mungkin. Aku cukup tahu diri, aku bukan levelnya Aura. Lagi pula, aktivis dakwah macam apa kalau otaknya dijadikan sebagai kolektor Akhwat? Aktivis dakwah model apa kalau mulutnya hanya untuk menggosip partner lawan jenis? Itulah mengapa, setiap kali ada yang datang dengan berlebai-lebai ria, buru-buru aku kill! Bagiku, selama bukan mahram, sikap lebay para aktivis pantas diperlakukan secara sadis! Hahaha. Lha, kini muncul si begundal kawanku ini yang bermaksud ta’arufan sama Aura. Ampuunn...
 ”Jadi gimana?” Imam mendesak.
 ”Oh, nggak bisa dong. Perempuan macam teman-teman gue maunya langsung dinikah. Tapi menurut gue sih, sory-sory aja ya, bukan bermaksud apa-apa, emang lo punya modal apa mau nembak Aura? Lagian kalau kita muslim, tentu kita tahu bahwa Allah akan memasangkan seseorang menurut kesamaannya, yang setara dengannya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS. An-Nur ayat 26. Nah, lo Muslim bukan?”
 Imam buru-buru mengeluarkan dompet kulitnya, mencabut KTP dan membantingnya di depanku seperti ketika ia membanting kartu domino. Jelas-jelas ia sedang meyakinkanku bahwa di KTP-nya tercatat beragama Islam.
 ”Nah, baguslah itu. Tapi tak cukup hanya dengan itu. Karena apa jadinya jika seorang aktivis dakwah yang taat agamanya ketemu dengan orang sepertimu. Hahaha. Yah, setidaknya rubah dulu pemikiranmu.”
 Mendengar perkataanku, ekspresinya datar. Terdiam sesaat, kemudian ia berkata,
 ”Beri gue waktu, tapi sepertinya itu bisa diatur.”
***
 Matahari masih setinggi tonggak ketika aku melangkah menuju rumah kost-nya. Pintunya tertutup, namun terdengar dari dalam suara musik bertempo cepat. Seseorang yang tak terbiasa mendengar musik seperti itu mungkin akan berkelakar dapat membuat kuping berdarah, gendang telinga pecah. Sama sekali aku tak mengenal musik itu. Tapi setelah dipersilahkan masuk dan kulihat koleksi musiknya, kulihat beberapa di antaranya Runcid, The Used, RATM, Rufio, Alone at Last dan entah apa lagi yang semacamnya yang kebanyakan darinya mengajak mabok sampai mampus, bahkan berbau seruan untuk membenci agama.
 ”Musikmu nggak asik.” Aku menggoda.
 Seperti kuduga, senyumnya aduhai. Mengesankan kalau dirinya sedang berkata: ’tahu apa kau bocah, tuh pampersmu diganti. Bau tahu!’. Dan memang, belum selesai aku membatin mulutnya sudah keluar asap kretek,
 ”Memang selera kupingmu apa? Jangan ngomong kalo suka nasyid seperti knalpot pilek itu. Hahaha.”
 Terang saja, selorohnya sedikit membuat alarm survivalku berbunyi. Tapi karena memang sudah biasa, artinya bahwa setiap kali dia bicara sering mengandung unsur ajakan untuk ’perang’, maka kusikapi saja dengan diam. Diam, bukan berarti sama-sekali-diam, tapi aku tetap memikirkan bagaimana caranya agar secara diam-diam aku memberinya semacam pelajaran, hahah. Yah, sedikit sentilan mungkin, agar dia tidak terus-terusan merasa di atas awan. Mungkin itu satu kelemahanku, aku tak mudah ikhlas jika ada seseorang yang stagnan dengan kecongkakan.
 Nah, kebetulan saat ini aku membawa laptop. Maka pelan-pelan kuambilnya dari tas tanselku. Kunyalakan, sejenak kemudian kugelar lembar ’explore’, lalu mengarahkan kursor tepat ke arah folder musik. Dan dalam hitungan detik, maka pecahlah cadas berjudul M.O.G.S.A.W (Mesenger of God Shallallahu ’alayhi wa Sallam) Purgatory.
 The M.O.G.. I can feel all..
Your Existance innersoul..
Can I be one of your love to serve you..
I’ll give my life.. All my life..
I’m yours,
Your martir!!
 “Buset,” lirihnya, “asik juga.” Kepalanya manggut-manggut bak dosen pembimbing skripsi lagi menemukan mood-nya. Atau seperti calon anggota legislatif sedang mendengar curhat pedagang pasar saat kampanye. Gayanya memang selangit, seolah-olah penikmat kretek sedang menilai rasa cengkeh di kebun tomat.
 Kondisi seperti ini sedikit banyak menguntungkanku. Aku dapat membuatnya respec lewat sesuatu yang lebih dekat dengannya. Hanya merupakan cara, ketika aku mendekatinya dengan karakter yang sesuai dengan dirinya. Maka kukenalkan juga dia dengan gebrakan musik Tengkorak, Band Underground dengan vocalis Ombat yang suaranya terdengar seperti kumur-kumur. Hingga sampai mengalun pula syair-syair Thufail Al-Ghifari dalam musik rap-nya yang kemudian membuat dirinya merasa seperti ditonjok.
 Pemanasan pagi itu setidaknya membuat dirinya cukup panas. Dan aku pun cukup puas, hahaha. Tapi tidak berhenti di situ!, namanya juga pemanasan, maka agenda selanjutnya adalah mengotak-atik pikiran.
 Adalah bagaimana supaya dia mampu melepas ‘kitab sucinya’, Thus Spoke Zarathutstra. Meski ia tak pernah menafikkan Al-Quran, katanya, tapi membacanya ia tak merasakan seperti halnya ketika ia merasakan kecantikan Thus Spoke Zarathustra.
 Aku katakan padanya, “Sebaiknya pertimbangkan lagi anggapanmu itu. Mungkin kamu tak merasakan indahnya Al-Qur’an karena kamu tidak faham bahasa Arab?”
 “Ah ya..,” nyengir saja ekspresinya, “kalau itu jawabannya, gue pikir akan menjadi semakin indah kalo Thus Spoke Zarathustra gue baca dari bahasa aslinya, bahasa Jerman.” Jawabnya.
 Ia memang sudah terlanjur gila dengan Nietzsche, sang ’pembunuh’ tuhan yang dulunya mati dalam keadaan gila itu. Aku tahu ia hanya berusaha untuk jujur. Dan dengan itu aku memberikan apresiasi kepadanya. Diskusi berjalan cukup melelahkan, bahkan untuk masalah ketuhanan saja memakan waktu yang teramat panjang. Beberapa hari aku rutin berdiskusi dengannya. Di kost, di kampus, atau bahkan di teras Masjid. Dari diskusi-diskusi alot dengannya itu, hingga pada akhirnya aku membuat satu kesimpulan, yaitu bahwa ketertarikannya dengan ’pikiran-pikiran nakal’ Nietzsche, pada saat itu aku yakin keadaan mentalnya memang pas, alias cocok dengan kejiwaan Nietzsche. Hal itu kemudian dibenarkan olehnya.
 Untuk mendukung kesadaran awalnya itu, suatu peristiwa kuingatkan padanya. Sekitar tiga bulan yang lalu kira-kira, ketika ia kubujuk Sholat Tarawih di Masjid, seusai itu ia lantas berseru kepadaku, ”Ih, ngeri imamnya. Suaranya bagus banget! Sampe banyak yang nangis sesenggukan gitu. Kok bisa ya?” takjubnya.
 Lalu aku bertanya kepadanya, ”Lha, kamu ikut nangis nggak?”
 Dia jawab, ”Hahaha, boro-boro nangis. Ngantuk gua! Hahaha. Emang Ayat tentang apaan, sampai bisa nangis-nangis gitu?”
 Aku jawab, ”tentang Hisab.”
 Waktu tertunda sesaat ketika mukanya pucat mendengar jawaban singkatku, persis pucatnya ketika saat ini ia kuingatkan kejadian itu. Satu hal, mungkin, yang menjadikannya tersadar: Ingat mati. Namun titik poin yang ingin kusampaikan padanya adalah bagaimana imam Masjid beserta sebagian makmum Sholat Tarawih waktu itu bisa sampai menangis bahkan dengan sesenggukan? Jawabnya, mereka mampu merenungkan ayat-ayat itu. Mereka mampu menghunjamkan setiap makna Al-Qur’an ke dalam ruh mereka, ke dalam relung jiwa-hidup mereka. ”Sedangkan kamu,” tunjukku, ”tidak. Kamu masih sekedar menjiwai igauan Nietzsche.”
 Ia bungkam. Sama sekali tak terdengar balasan.
 Diam dan heningnya itu kemudian lamat-lamat mengundang angin lembut untuk datang berhembus, lalu dengan tenang dan elegan menghampiri wajahnya, memejamkan matanya, meniup dan melambai-lambaikan rambut sebahunya. Seakan hembusan angin itu perlahan-lahan sedang mengelupas hijab dalam hatinya.
 Maka kemudian, mengakhiri perjumpaan itu aku meminjaminya buku untuk dipelajari dan direnungkan. Kuberinya buku bersampul putih, yang di mukanya bertuliskan teks warna merah menyala: Peraturan Hidup Dalam Islam.
 ”Bab pertama,” kataku padanya, ”Jalan Menuju Iman.”
***
 Hari-hari berikutnya seiring dengan rutinitas diskusi wacana serta membahas buku putih itu, ia mulai tampak berubah. Yang membuatku geleng-geleng setengah tak percaya, saat ini, ia tak pernah telat untuk datang Sholat berjamaah di Masjid! Padahal sebelumnya jangankan masuk Masjid untuk Sholat, malah bisa ditebak keperluannya ke Masjid biasanya hanya untuk dua perkara: Kalau nggak cuci muka, pasti sedang produksi senjata pemusnah masal!
 Selain itu ia juga minta kepadaku diajari membaca Al-Qur’an dengan tartil, di samping ia juga meminta folder Murottal di laptopku. Tiga Murottal yang paling ia suka, katanya, Hany al-Rifa’i, Musyari Rasyid Al-Afasy, dan si kecil Muhammad Thoha Al-Junayd, yang katanya sering membuat matanya berkaca-kaca.
 Berarti selesai sudah. Tamatlah sudah Zarathustra.
 Namun secara tiba-tiba, ia merangsek pelan-pelan kepadaku, agak  menggelikan gelagatnya. Dilihat dari nada bicaranya, berarti ia sedang menagih.
 ”Lha terus gimana, Aura Madina gimana?”
 Begitu polos, sepolos lahirnya kembali ia dalam pemikirannya kini. Aku kesulitan menahan tawa, ternyata di balik sangar penampilannya itu sekian lama, tak diduga tak dinyana ia berhati Hello Kitty. Hahaha.
 Tetapi tak berselang lama setelahnya, seperti sebuah rem cakram, sesuatu itu telah membuat tawaku benar-benar berhenti mendadak. Pikiran itu muncul, kekhawatiran itu timbul, hingga akhirnya membuatku cemas, lemas.
 Untuk apa dia berubah? Jangan-jangan... Ya, jangan-jangan, ia salah dalam tujuan. Ah, terlalu cepat aku merasa ’puas’ padanya. Aku lupa mengingatkannya tentang satu hal: Ikhlas.
***
 Berdua. Aku menemani Imam datang ke rumah Aura. Cukup jauh, enam jam untuk sampai di kotanya. Di liburan akhir semester ini, lewat teman-teman se-asramanya dipastikan bahwa Aura mudik dan berada di rumahnya.
 Imam, terlepas dari kekhawatiranku tentang apa yang ada dalam hatinya, aku menganggap Imam Hambali bukan lagi Imam Zarathustra, yang kini prinsip hidupnya secadas ”doa” orang tuanya saat memberinya nama dengan mengambil teladan nama Imam Ahmad bin Hambal. Seorang Ulama’ Mujahid, yang tak bergeser sedikitpun dengan gertakan serta siksaan sang Muktazilah Khalifah Al-Makmun dalam mempertahankan kebenaran keyakinan.
 Kini bersamanya aku duduk menghadap keluarga yang sama sekali asing, untuk suatu hal yang asing pula, yang sama sekali belum pernah aku saksikan sebelumnya: Khitbah.
 Di sana, di saat kami berdua diserang kebekuan, Imam mengangkat wajahnya, untuk kemudian memberanikan diri menyampaikan maksud kedatangannya meski dengan susunan bahasa yang agak kacau dan belepotan. Padahal sesaat sebelumnya ia tahu bahwa Ibu Aura adalah guru Bahasa Indonesia di salah satu sekolah SMA.
 ”Sebagai orang tua,” Ibu Aura menjawab, ”selagi itu yang terbaik, kami merestui. Namun bagaimanapun hal ini saya kembalikan kepada yang bersangkutan, Nak Imam, karena dialah yang berhak menentukan jawaban. Nah, saya tanyakan dulu ke Aura-nya. Bagaimana, Aura?” Sang Ibu beralih kepada anaknya yang duduk menunduk di samping kirinya, yang sedari tadi tetap anggun dengan cadarnya.
 Menunggu sekian detik lamanya untuk kemudian Aura membuka bicara. Suaranya tipis, lembut, namun sedikit tergetar saat ia menyampaikan jawaban, ”Dengan mengharap ridha Allah. Bismillah, afwan, Akhi. Bukan bermaksud ana ingin menyakiti dan mengecewakan jauh-jauh kedatangan antum, atau, bukan berarti di mata ana antum kurang baik, terlebih-lebih kurang shalih. Namun Allah telah memberikan ana hati. Dan tentulah antum faham apa yang ana maksud dengan hati. Artinya, saat ini antum datang berdua, dan jika kemudian Akhi Fauzan memiliki urusan yang serupa, maka ana telah menyiapkan jawaban untuk mengiyakan. Afwan jiddan.”
 Senyap.
 Tapi aku tidak, aku malah terjingkat. Tersengat dalam diam. Tiba-tiba saja jantungku perlahan-lahan berdetak semakin cepat dan berat. Apa-apaan ini? Aura menyebut nama Fauzan? Benarkah Fauzan? Bukankah itu namaku? Ah, tidak, aku salah dengar. Tidak, Aura harus bisa menjelaskan. Dan di saat sebelum aku berhasil mengajukan pertanyaan kepadanya, suara lirih Imam terlebih dulu membungkam mulutku.
 ”Allahu Akbar!”, serunya, lirih. Lalu ia menepuk pundakku sembari tersenyum ajaib, ”Bro, selamat. Gue harap semua mahar yang gue siapkan, termasuk Tafsir Asy-Syahid Sayyid Quthb Fii Dzilaalil Qur’an, bersedia antum pergunakan. Sedangkan gue,” kerdip matanya menyela waktu, ”izinkan gue menjadi saksi pernikahan kalian.”
 Tak sadar deras air mataku. Tumpah seluruhnya meski dengan kuat-kuat berusaha aku pejamkan. Dadaku tersendat-sendat, karena tepat pada saat itu aku merasa malu serta kerdil di dekatnya. Bahkan rapuh, runtuh dalam rangkulnya.
Imam Zarathustra, waktu lalu mungkin aku dapat meraba menilainya, namun kini ia membuatku bungkam tanpa kata. [Ahsan Hakim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar