Di
atas mimbar jalanan nan terik, debu-debu aspal menampar wajahnya yang
mulai memerah. Terlihat matanya nyalang menembus pagar kawat berduri,
nafasnya memburu kecongkakan rezim yang tak tahu diri. Maka jelas
seluruh energi itu wujud manifestasi dari ”kepalan tangan kiri” yang
diangkatnya tinggi-tinggi.
”Inilah jalan perjuangan kita, Kawan!”
Siang
itu, ia memang haus darah. Maka buaslah puluhan Mahasiswa yang berada
dalam komandonya. Karena saat itu adalah hari perayaan mereka ketika
satu persatu kepala polisi anti huru-hara muncrat. Ketika batang per
batang lengan para penghalang patah. Di hadapan pagar betis barisan
manusia, di tengah desingan tembakan peringatan dan kepulan gas air
mata.
”Dan tahukah kalian!”
Maka
tahukah kalian, perjuangan ini untuk sebuah hak yang telah lama
ditikam. Untuk sebuah kata suci yang telah dibredel, tercabik-cabik oleh
sistem dalam kekuasaan hipokrit yang penuh kepentingan: Keadilan.
Ia, dengan segenap keperkasaan intelektualnya, memuji dirinya dengan nama pena, nama kebesarannya: Imam Zarathustra.
***
”Bro!”,
dari arah belakang ia memukul akrab bahuku dengan buku lusuhnya yang
bergambar kepala manusia berkumis setebal serabut kelapa: Nietzsche.
”Ada waktu?”
”Untuk
apa?”, tanyaku. Ia memang kawan akrabku, kawan sefakultas. Partner
diskusi yang jika sudah dimabok intelektual, maka adzan pun dianggapnya
semacam auman suara pengganggu.
”Begini.”
Ia mengambil posisi dan menyandarkan pantatnya di depan meja dosen
secara elegan. ”Nggak tahu nih ya, entah sudah gila apa gue,” sambil
menjepit lintingan rokok tangannya menggaruk-garuk kepala, jelas bukan
karena korengnya gatal, ”terang aja, gue suka sama temenmu.”
”Heh??”
Aku merapat, meyakinkan kalau kupingku masih berfungsi dengan baik,
”Bentar, bentar. Apa tadi lo bilang? Suka temen gue? Temen yang mana?
Hahaha, gila lo ya.”
”Ah, manusiawi lah.. Itu, temenmu, siapa sih namanya, Aura? Itu, ikhwit sebutannya kan? Yang seorganisasi sama kamu itu.”
Gelagat
dan kikuknya membuat tawaku mulai asik. Jarang-jarang ketemu aktivis
rasis mengidap virus melankolis. ”Ikhwit? Akhwat kalii.. Ya, namanya
Aura. Aura Madina. Yang pake kaca-mata itu, bukan?”
”Hmm,
ya, ya, Akhwat. Sudah gue duga, tawamu mesti bau karbit,” gerutunya.
Sementara tawaku yang sedari tadi tertahan masih menyisakan seberkas
senyum dikulum.
”Jadi
begini.” Ia melompat ringan mengambil duduk di atas bangku, masih di
bangku dosen. ”Begini, Bro. Sory aja, biar gue ancur begini, terus
terang aja gue eneg lihat sapi-sapi tank top macam sekeliling kita itu,
sumpah,” selorohnya sembari tangannya menunjuk mahasiswi berpakaian
ketat yang berlalu lalang di luar. ”Gue ngerasa adem aja kalo lihat
cewek-cewek berpakaian besar seperti teman-temanmu itu. Kesannya mereka
bisa menghargai dirinya, kehormatannya. Jujur aja, kalo punya istri gue
inginnya seperti itu. Kan perasaan kita bisa tenang tuh? Nah, kira-kira
bisa nggak gue pacaran dulu sama Aura?”
Jreng!
Jreng! Belum habis sisa tawaku kali ini sudah disuguhi dagelan baru.
Meledaklah kembali seperti knalpot yang terpingkal-pingkal menertawakan
harga BBM. Pikir-pikir, akhwat mana yang mau diajaknya pacaran?
Bisa-bisa dilempar panci biar tahu rasa! Hahaha.
Jadi
terlebih dulu kuberi tahu padamu, Kawan. Yang disukai kawanku ini,
Aura, adalah seorang Akhwat yang ada di LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di
kampus kami. Akhwat berparas putih yang sudah masyhur kecantikannya di
kampus kami. Kini ia Mahasiswi tingkat tiga akhir, semester 5. Dan boleh
jadi demi menjaga kecantikannya, maka sekitar sebulan yang lalu ia
mulai memakai cadar.
Di
kalangan Asrama Ikhwan, nama Aura seringkali kudengar menjadi bahan
pembicaraan. Biasanya saat-saat kumpul santai atau menjelang tidur
malam. Termasuk aku? Bwahaha, tidak mungkin, tidak mungkin. Aku cukup
tahu diri, aku bukan levelnya Aura. Lagi pula, aktivis dakwah macam apa
kalau otaknya dijadikan sebagai kolektor Akhwat? Aktivis dakwah model
apa kalau mulutnya hanya untuk menggosip partner lawan jenis? Itulah
mengapa, setiap kali ada yang datang dengan berlebai-lebai ria,
buru-buru aku kill! Bagiku, selama bukan mahram, sikap lebay para
aktivis pantas diperlakukan secara sadis! Hahaha. Lha, kini muncul si
begundal kawanku ini yang bermaksud ta’arufan sama Aura. Ampuunn...
”Jadi gimana?” Imam mendesak.
”Oh,
nggak bisa dong. Perempuan macam teman-teman gue maunya langsung
dinikah. Tapi menurut gue sih, sory-sory aja ya, bukan bermaksud
apa-apa, emang lo punya modal apa mau nembak Aura? Lagian kalau kita
muslim, tentu kita tahu bahwa Allah akan memasangkan seseorang menurut
kesamaannya, yang setara dengannya, sebagaimana yang telah disebutkan
dalam QS. An-Nur ayat 26. Nah, lo Muslim bukan?”
Imam
buru-buru mengeluarkan dompet kulitnya, mencabut KTP dan membantingnya
di depanku seperti ketika ia membanting kartu domino. Jelas-jelas ia
sedang meyakinkanku bahwa di KTP-nya tercatat beragama Islam.
”Nah,
baguslah itu. Tapi tak cukup hanya dengan itu. Karena apa jadinya jika
seorang aktivis dakwah yang taat agamanya ketemu dengan orang sepertimu.
Hahaha. Yah, setidaknya rubah dulu pemikiranmu.”
Mendengar perkataanku, ekspresinya datar. Terdiam sesaat, kemudian ia berkata,
”Beri gue waktu, tapi sepertinya itu bisa diatur.”
***
Matahari
masih setinggi tonggak ketika aku melangkah menuju rumah kost-nya.
Pintunya tertutup, namun terdengar dari dalam suara musik bertempo
cepat. Seseorang yang tak terbiasa mendengar musik seperti itu mungkin
akan berkelakar dapat membuat kuping berdarah, gendang telinga pecah.
Sama sekali aku tak mengenal musik itu. Tapi setelah dipersilahkan masuk
dan kulihat koleksi musiknya, kulihat beberapa di antaranya Runcid, The Used, RATM, Rufio, Alone at Last
dan entah apa lagi yang semacamnya yang kebanyakan darinya mengajak
mabok sampai mampus, bahkan berbau seruan untuk membenci agama.
”Musikmu nggak asik.” Aku menggoda.
Seperti
kuduga, senyumnya aduhai. Mengesankan kalau dirinya sedang berkata:
’tahu apa kau bocah, tuh pampersmu diganti. Bau tahu!’. Dan memang,
belum selesai aku membatin mulutnya sudah keluar asap kretek,
”Memang selera kupingmu apa? Jangan ngomong kalo suka nasyid seperti knalpot pilek itu. Hahaha.”
Terang
saja, selorohnya sedikit membuat alarm survivalku berbunyi. Tapi karena
memang sudah biasa, artinya bahwa setiap kali dia bicara sering
mengandung unsur ajakan untuk ’perang’, maka kusikapi saja dengan diam.
Diam, bukan berarti sama-sekali-diam, tapi aku tetap memikirkan
bagaimana caranya agar secara diam-diam aku memberinya semacam
pelajaran, hahah. Yah, sedikit sentilan mungkin, agar dia tidak
terus-terusan merasa di atas awan. Mungkin itu satu kelemahanku, aku tak
mudah ikhlas jika ada seseorang yang stagnan dengan kecongkakan.
Nah,
kebetulan saat ini aku membawa laptop. Maka pelan-pelan kuambilnya dari
tas tanselku. Kunyalakan, sejenak kemudian kugelar lembar ’explore’,
lalu mengarahkan kursor tepat ke arah folder musik. Dan dalam hitungan
detik, maka pecahlah cadas berjudul M.O.G.S.A.W (Mesenger of God
Shallallahu ’alayhi wa Sallam) Purgatory.
The M.O.G.. I can feel all..
Your Existance innersoul..
Can I be one of your love to serve you..
I’ll give my life.. All my life..
I’m yours,
Your martir!!
“Buset,” lirihnya, “asik juga.” Kepalanya manggut-manggut bak dosen pembimbing skripsi lagi menemukan mood-nya.
Atau seperti calon anggota legislatif sedang mendengar curhat pedagang
pasar saat kampanye. Gayanya memang selangit, seolah-olah penikmat
kretek sedang menilai rasa cengkeh di kebun tomat.
Kondisi
seperti ini sedikit banyak menguntungkanku. Aku dapat membuatnya respec
lewat sesuatu yang lebih dekat dengannya. Hanya merupakan cara, ketika
aku mendekatinya dengan karakter yang sesuai dengan dirinya. Maka
kukenalkan juga dia dengan gebrakan musik Tengkorak, Band Underground
dengan vocalis Ombat yang suaranya terdengar seperti kumur-kumur. Hingga
sampai mengalun pula syair-syair Thufail Al-Ghifari dalam musik rap-nya
yang kemudian membuat dirinya merasa seperti ditonjok.
Pemanasan
pagi itu setidaknya membuat dirinya cukup panas. Dan aku pun cukup
puas, hahaha. Tapi tidak berhenti di situ!, namanya juga pemanasan, maka
agenda selanjutnya adalah mengotak-atik pikiran.
Adalah
bagaimana supaya dia mampu melepas ‘kitab sucinya’, Thus Spoke
Zarathutstra. Meski ia tak pernah menafikkan Al-Quran, katanya, tapi
membacanya ia tak merasakan seperti halnya ketika ia merasakan
kecantikan Thus Spoke Zarathustra.
Aku
katakan padanya, “Sebaiknya pertimbangkan lagi anggapanmu itu. Mungkin
kamu tak merasakan indahnya Al-Qur’an karena kamu tidak faham bahasa
Arab?”
“Ah
ya..,” nyengir saja ekspresinya, “kalau itu jawabannya, gue pikir akan
menjadi semakin indah kalo Thus Spoke Zarathustra gue baca dari bahasa
aslinya, bahasa Jerman.” Jawabnya.
Ia
memang sudah terlanjur gila dengan Nietzsche, sang ’pembunuh’ tuhan
yang dulunya mati dalam keadaan gila itu. Aku tahu ia hanya berusaha
untuk jujur. Dan dengan itu aku memberikan apresiasi kepadanya. Diskusi
berjalan cukup melelahkan, bahkan untuk masalah ketuhanan saja memakan
waktu yang teramat panjang. Beberapa hari aku rutin berdiskusi
dengannya. Di kost, di kampus, atau bahkan di teras Masjid. Dari
diskusi-diskusi alot dengannya itu, hingga pada akhirnya aku membuat
satu kesimpulan, yaitu bahwa ketertarikannya dengan ’pikiran-pikiran
nakal’ Nietzsche, pada saat itu aku yakin keadaan mentalnya memang pas,
alias cocok dengan kejiwaan Nietzsche. Hal itu kemudian dibenarkan
olehnya.
Untuk
mendukung kesadaran awalnya itu, suatu peristiwa kuingatkan padanya.
Sekitar tiga bulan yang lalu kira-kira, ketika ia kubujuk Sholat Tarawih
di Masjid, seusai itu ia lantas berseru kepadaku, ”Ih, ngeri imamnya.
Suaranya bagus banget! Sampe banyak yang nangis sesenggukan gitu. Kok
bisa ya?” takjubnya.
Lalu aku bertanya kepadanya, ”Lha, kamu ikut nangis nggak?”
Dia jawab, ”Hahaha, boro-boro nangis. Ngantuk gua! Hahaha. Emang Ayat tentang apaan, sampai bisa nangis-nangis gitu?”
Aku jawab, ”tentang Hisab.”
Waktu
tertunda sesaat ketika mukanya pucat mendengar jawaban singkatku,
persis pucatnya ketika saat ini ia kuingatkan kejadian itu. Satu hal,
mungkin, yang menjadikannya tersadar: Ingat mati. Namun titik poin yang
ingin kusampaikan padanya adalah bagaimana imam Masjid beserta sebagian
makmum Sholat Tarawih waktu itu bisa sampai menangis bahkan dengan
sesenggukan? Jawabnya, mereka mampu merenungkan ayat-ayat itu. Mereka
mampu menghunjamkan setiap makna Al-Qur’an ke dalam ruh mereka, ke dalam
relung jiwa-hidup mereka. ”Sedangkan kamu,” tunjukku, ”tidak. Kamu
masih sekedar menjiwai igauan Nietzsche.”
Ia bungkam. Sama sekali tak terdengar balasan.
Diam
dan heningnya itu kemudian lamat-lamat mengundang angin lembut untuk
datang berhembus, lalu dengan tenang dan elegan menghampiri wajahnya,
memejamkan matanya, meniup dan melambai-lambaikan rambut sebahunya.
Seakan hembusan angin itu perlahan-lahan sedang mengelupas hijab dalam
hatinya.
Maka
kemudian, mengakhiri perjumpaan itu aku meminjaminya buku untuk
dipelajari dan direnungkan. Kuberinya buku bersampul putih, yang di
mukanya bertuliskan teks warna merah menyala: Peraturan Hidup Dalam
Islam.
”Bab pertama,” kataku padanya, ”Jalan Menuju Iman.”
***
Hari-hari
berikutnya seiring dengan rutinitas diskusi wacana serta membahas buku
putih itu, ia mulai tampak berubah. Yang membuatku geleng-geleng
setengah tak percaya, saat ini, ia tak pernah telat untuk datang Sholat
berjamaah di Masjid! Padahal sebelumnya jangankan masuk Masjid untuk
Sholat, malah bisa ditebak keperluannya ke Masjid biasanya hanya untuk
dua perkara: Kalau nggak cuci muka, pasti sedang produksi senjata
pemusnah masal!
Selain
itu ia juga minta kepadaku diajari membaca Al-Qur’an dengan tartil, di
samping ia juga meminta folder Murottal di laptopku. Tiga Murottal yang
paling ia suka, katanya, Hany al-Rifa’i, Musyari Rasyid Al-Afasy, dan si
kecil Muhammad Thoha Al-Junayd, yang katanya sering membuat matanya
berkaca-kaca.
Berarti selesai sudah. Tamatlah sudah Zarathustra.
Namun
secara tiba-tiba, ia merangsek pelan-pelan kepadaku, agak menggelikan
gelagatnya. Dilihat dari nada bicaranya, berarti ia sedang menagih.
”Lha terus gimana, Aura Madina gimana?”
Begitu
polos, sepolos lahirnya kembali ia dalam pemikirannya kini. Aku
kesulitan menahan tawa, ternyata di balik sangar penampilannya itu
sekian lama, tak diduga tak dinyana ia berhati Hello Kitty. Hahaha.
Tetapi
tak berselang lama setelahnya, seperti sebuah rem cakram, sesuatu itu
telah membuat tawaku benar-benar berhenti mendadak. Pikiran itu muncul,
kekhawatiran itu timbul, hingga akhirnya membuatku cemas, lemas.
Untuk
apa dia berubah? Jangan-jangan... Ya, jangan-jangan, ia salah dalam
tujuan. Ah, terlalu cepat aku merasa ’puas’ padanya. Aku lupa
mengingatkannya tentang satu hal: Ikhlas.
***
Berdua.
Aku menemani Imam datang ke rumah Aura. Cukup jauh, enam jam untuk
sampai di kotanya. Di liburan akhir semester ini, lewat teman-teman
se-asramanya dipastikan bahwa Aura mudik dan berada di rumahnya.
Imam,
terlepas dari kekhawatiranku tentang apa yang ada dalam hatinya, aku
menganggap Imam Hambali bukan lagi Imam Zarathustra, yang kini prinsip
hidupnya secadas ”doa” orang tuanya saat memberinya nama dengan
mengambil teladan nama Imam Ahmad bin Hambal. Seorang Ulama’ Mujahid,
yang tak bergeser sedikitpun dengan gertakan serta siksaan sang
Muktazilah Khalifah Al-Makmun dalam mempertahankan kebenaran keyakinan.
Kini
bersamanya aku duduk menghadap keluarga yang sama sekali asing, untuk
suatu hal yang asing pula, yang sama sekali belum pernah aku saksikan
sebelumnya: Khitbah.
Di
sana, di saat kami berdua diserang kebekuan, Imam mengangkat wajahnya,
untuk kemudian memberanikan diri menyampaikan maksud kedatangannya meski
dengan susunan bahasa yang agak kacau dan belepotan. Padahal sesaat
sebelumnya ia tahu bahwa Ibu Aura adalah guru Bahasa Indonesia di salah
satu sekolah SMA.
”Sebagai
orang tua,” Ibu Aura menjawab, ”selagi itu yang terbaik, kami merestui.
Namun bagaimanapun hal ini saya kembalikan kepada yang bersangkutan,
Nak Imam, karena dialah yang berhak menentukan jawaban. Nah, saya
tanyakan dulu ke Aura-nya. Bagaimana, Aura?” Sang Ibu beralih kepada
anaknya yang duduk menunduk di samping kirinya, yang sedari tadi tetap
anggun dengan cadarnya.
Menunggu
sekian detik lamanya untuk kemudian Aura membuka bicara. Suaranya
tipis, lembut, namun sedikit tergetar saat ia menyampaikan jawaban,
”Dengan mengharap ridha Allah. Bismillah, afwan, Akhi. Bukan bermaksud
ana ingin menyakiti dan mengecewakan jauh-jauh kedatangan antum, atau,
bukan berarti di mata ana antum kurang baik, terlebih-lebih kurang
shalih. Namun Allah telah memberikan ana hati. Dan tentulah antum faham
apa yang ana maksud dengan hati. Artinya, saat ini antum datang berdua,
dan jika kemudian Akhi Fauzan memiliki urusan yang serupa, maka ana
telah menyiapkan jawaban untuk mengiyakan. Afwan jiddan.”
Senyap.
Tapi
aku tidak, aku malah terjingkat. Tersengat dalam diam. Tiba-tiba saja
jantungku perlahan-lahan berdetak semakin cepat dan berat. Apa-apaan
ini? Aura menyebut nama Fauzan? Benarkah Fauzan? Bukankah itu namaku?
Ah, tidak, aku salah dengar. Tidak, Aura harus bisa menjelaskan. Dan di
saat sebelum aku berhasil mengajukan pertanyaan kepadanya, suara lirih
Imam terlebih dulu membungkam mulutku.
”Allahu
Akbar!”, serunya, lirih. Lalu ia menepuk pundakku sembari tersenyum
ajaib, ”Bro, selamat. Gue harap semua mahar yang gue siapkan, termasuk
Tafsir Asy-Syahid Sayyid Quthb Fii Dzilaalil Qur’an, bersedia antum pergunakan. Sedangkan gue,” kerdip matanya menyela waktu, ”izinkan gue menjadi saksi pernikahan kalian.”
Tak
sadar deras air mataku. Tumpah seluruhnya meski dengan kuat-kuat
berusaha aku pejamkan. Dadaku tersendat-sendat, karena tepat pada saat
itu aku merasa malu serta kerdil di dekatnya. Bahkan rapuh, runtuh dalam
rangkulnya.
Imam Zarathustra, waktu lalu mungkin aku dapat meraba menilainya, namun kini ia membuatku bungkam tanpa kata. [Ahsan Hakim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar